Jumat, 23 Januari 2009

"seandainya"

terlalu sering kata-kata "seandainya" terngiang di telingaku,
terduduklah aku di suatu malam beserta kerapuhanku,
berharap seandainya (lagi-lagi), matahari cepat mengeluarkan cahayanya...

wajahku terasa tebal oleh udara dingin yang sesekali berhembus mesra,
rambutku tersibak oleh angin yang lewat mendadak,
yah bisa diduga, aku memang sendirian... tapi bukan itu yang menjadi masalah.
masalah utamanya adalah,
"aku bahkan hidup tanpa jiwa"...

tanpa tahu apa yang kumau, apa yang kurasa, mungkin benar,
seperti kata temanku, aku benar-benar telah mati rasa...
mungkin terlalu berlebihan, tapi sungguh mendekati hal itu.

tidak ada yang aku mau.
tidak ada yang aku benci.
tidak ada yang aku cinta.
hidup berjalan sementara hatiku terhenti.

kadang-kadang, kata seandainya muncul ketika perasaan ini tiba,
seandainya aku lebih pintar, kenyataannya otakku pas-pas an, dengan nilai yang seadanya...
seandainya aku lebih cantik, kenyataannya aku tidak, dan aku merasa, jujur.. aku tidak cantik...
seandainya aku lebih kaya, kenyataannya aku orang biasa-biasa saja, bahkan hidup dari tangan ku sendiri pun aku tak sanggup...
seandainya aku lebih baik, kenyataannya aku tidak baik, leherku berat oleh dosa...
seandainya aku lebih supel, kenyataannya.... bahkan, dekat dengan diriku sendiri pun, aku tidak.

seperti di lorong tanpa ujung yang gelap, aku melangkah mencari tahu sesuatu
sesuatu yang hilang dan entah apa, aku mencari sesuatu yang dapat mengubah kata-kataku dari "seandainya" menjadi "akhirnya"
aku terlalu lama terkurung dalam lorong ini, bahkan, tidak ada seorangpun yang mungkin bisa menolong, atau bahkan mereka tak peduli.

terkunci sudah, jiwaku.
tersenyum, tertawa, menangis, melakukan apapun, tanpa hati.
bagai ruang yang kosong, yang ditembus oleh waktu.
aku sudah puas, dan merasa, tak perlulah aku merasa "seandainya" lagi.

memandangi jemariku yang tersilaukan oleh sinar matahari...
tersenyum lah aku di sudut ruang yang kosong, "akhirnya"...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar