Rabu, 30 Juni 2010

Mimpi Bagi Seorang Direktur, Seorang Istri

Ketika aku melahirkan anak pertama kami,
saat itu adalah tepat setahun setelah kami menikah,
anak pertama kami adalah lelaki yang lucu dan tampan,
aku berharap besar kelak dia akan menjadi seorang lelaki yang berwibawa seperti ayahnya.

Aku mencintai suamiku, tapi ketika hari itu datang,
hari dimana dia di-dinas-kan ke Kalimantan,
aku tidak sanggup menahan rasa sedihku,
kita baru menikah satu tahun...
bagaimana aku harus membesarkan anakku sendirian?
suamiku menyarankan kita pergi bersama,
tapi aku, dan karierku, melarang aku untuk pergi menemaninya.
aku juga tidak bisa melarang dia,... karena itu impiannya.
jadi, satu-satunya yang bisa aku lakukan, aku menangisi diriku dan keadaanku...

Suamiku berjanji, dia akan selalu menelponku, seperti jarak yang tak terlihat di antara kita, dan aku juga berjanji, akan selalu memberikan update-update terbaru tentang anak kita.

Setahun setelahnya, anakku sudah berumur setahun, dan dia sudah bisa merangkak, dan sedang belajar berjalan,
aku sangat bahagia, melihat buah hatiku tumbuh sedemikian cepat.
aku memanggil anakku MIMPI, karena dia bagaikan mimpi indah yang selalu hadir dalam hariku...
karir ku pun berada di kegemilangan, klien-klien bertambah banyak,
uang mengalir begitu deras bak air hujan yang selama ini aku tunggu.
aku bahkan tidak perlu menunggu kiriman bulanan suamiku lagi.
aku bisa membiayai lebih dari kami bertiga.

Tiga tahun berjalan, aku sudah mengantarkan MIMPI ke sekolah. dia sangat lucu,
dan sangat pintar, aku mencintai dia, bahkan lebih banyak daripada mencintai suamiku.
Aku memang merasa kesepian, tapi aku juga sibuk, antara pekerjaan dan MIMPI, keduanya mengelilingi aku mengisi hidupku.

Suatu ketika, aku menelepon suamiku untuk lapor bahwa anak kita sudah bisa membaca dan dia sangat pintar sekali menggambar.
tapi yang mengangkat seorang wanita, aku tahu wanita itu, dia adalah wanita yang selalu suamiku ceritakan. seorang perawat.
suaranya sangat merdu, dan aku tahu, dia pasti gadis yang cantik.

tidak lama setelahnya, seorang kerabat melapor padaku, suamiku, selingkuh.
aku tidak pernah mencari kebenarannya, karena aku tidak mau percaya.
hatiku terasa sakit,, tapi saat melihat senyuman MIMPI aku merasa lebih baik.
setahun setelah itu, gosip itu menghilang dengan sendirinya,
dan aku meyakinkan diriku,dan MIMPI, suamiku adalah orang yang baik.

menginjak tahun keempat, aku merasa tertipu.
sebenarnya menjalani tahun-tahun ini, aku tidak perlu suami.
nyatanya aku bisa membiayai dan membesarkan anak sendirian.
aku tidak butuh suami.
aku bahkan lupa punya suami.
di sekitarku sangat sempurna.
karir yang melesat terus,
MIMPI yang selalu mencintai aku dan memanggil "mama.. mama"...
serta sahabat-sahabat yang selalu menemani aku mengisi waktu bersama,
aku merasa bahagia. tanpa dia, tanpa suamiku,

aku tidak pernah meneleponnya lagi, dan tidak berharap dia meneleponku,
aku nampak cukup baik dengan ini semua.
menginjak tahun kelima, aku tidak berharap dia pulang.
karena aku merasa nyaman, dengan ini semua,
tidak akan ada yang cemburu ketika aku berjalan dengan teman kerja lelakiku,
tidak ada yang mengomel, ketika aku belanja banyak barang,
tidak ada yang harus aku layani,
aku tidak perlu memijat badannya, tidak perlu menyeduh kopi terus-terusan..
hidupku, sangat sempurna.

tapi hari itu datang juga.
MIMPI menggigit-gigit sesuatu dan aku mulai marah, kulihat itu agenda lamaku,
aku baru ingat, hari ini hari pernikahan kami ke 7.
aku sebenarnya tidak ingin ingat, tidak ingin tahu, tapi takdir seakan menemukan aku dengan agenda lamaku, jadi aku menelponnya,
setela lama tak bersua,
aku mendengar suaranya,
dia nampak pasif, ketika aku aktif menceritakan MIMPI.
dan aku merasa tolol. aku menyudahinya tanpa menanyakan kapan dia pulang.
sebenarnya , aku tidak benar-benar memerlukan dia.

aku wanita muda yang cantik, briliant, karir ku sukses,
lelaki-wanita semua mengagumi ku.
sebenarnya, aku bisa saja menemukan siapa saja menjadi pengganti suamiku,
aku bisa saja menemukan lelaki yang tidak akan pergi ke manapun,
tidak akan mengurus orang lain selain istrinya,
tidak akan sibuk setiap hari dan jaga malam setiap malam.
aku bisa menemukan lelaki siapapun selain "dokter"

tapi kembali lagi,
aku sudah punya anak.
aku punya MIMPI.

aku tidak mau MIMPI punya ayah tiri.

seminggu sebelum kepulangan suamiku,
MIMPI bertanya "mama, aku punya papa gak sih?"
pertanyaan itu, sering ditanyakan, berulang kali, dan aku selalu menjawab "punya"
tapi kali ini, sebelum jawaban sama aku lontarkan, dia sudah berkata lagi
"aku tidak mau punya papa"
aku terkejut, dan bertanya "kenapa?"
"karena, untuk apa papa, papa si A galak, dia suka marah-marah,..."

jawaban itu menjelaskan panggilan yang aku terima, dari guru SD nya.
"maaf, memang di mana ayahnya?" tanya guru SD itu.
aku menjelaskan dengan panjang lebar, bahwa ayahnya seorang dokter yang sangat sibuk dan sedang mengemban tugas negara. guru SD itu sangat kagum,
bukan pada suamiku, tapi pada aku, istri seorang dokter. dapat membesarkan anak seorang diri.

"kemarin saya tanya pada anak anda, di mana ayahnya, dia jawab, ayahnya tidak ada, dan dia juga tidak perlu ayah"

aku tidak bohong,
aku sering menceritakan tentang hubungan manis aku dan suamiku kepada anakku,
tapi itu hanya berjalan sampai dia berumur 3 tahun.
setelahnya,
dia tidak pernah mendengar apa-apa dariku,
seperti aku tidak pernah mendengar apa-apa dari suamiku.

aku tidak tahu,
perasaanku yang tidak terlalu membutuhkan suami,,
ber-telepati dengan perasaan MIMPI,...
aku mendadak merasa bersalah,
baik pada suamiku, maupun MIMPI.
aku ibu yang egois...

beberapa hari sebelum kepulangan suamiku,
aku menceritakan segalanya kepada MIMPI,
aku berharap dia mengerti bahwa dia memiliki ayah,
dan ayahnya baik, tidak sejahat ayah teman-teman yang selalu dia ceritakan.
aku juga berharap suamiku melihat pertanggung jawaban ku selama ni, tentang hubungan kita, tentang anak kita.

saat aku melihat suamiku keluar dari bandara,
aku mendadak terharu,, ternyata rasa kangen yang selama ini kupendam begitu lama,
menjadi beku..
melihatnya bagaikan matahari yang membuat rasa itu meleleh...
aku memeluk anakku erat-erat
"itu ayahmu" kataku...

"ayah"

suamiku memeluk MIMPI, dan aku..
dia memeluk aku sangat erat, seperti rasa rindu kita membaur dalam haru...
ternyata, aku begitu merindukannya, aku membutuhkan suamiku, sebesar aku membutuhkan diriku....


selang waktu setelah itu,
aku tidak pernah mengatakan pada suamiku, kalau kadang - MIMPI selalu datang diam-diam ke meja kerjaku, dia menanyakan hal yang sama,
"apa itu benar ayahku?" tanyanya.. "kenapa dia tidak pernah mau main sama aku?"
aku mencoba menceritakan bahwa ayahnya dokter dan amat sibuk,,
MIMPI memelukku, "aku tidak mau jadi dokter, karena aku tidak mau sibuk, aku kan mau main sama mama"

aku mencium MIMPI, terharu, tapi juga merasa bersalah pada suamiku.
aku tidak mengklarifikasi pikiran MIMPI lebih lanjut,
biarlah- waktu yang mengubah jalan pikirannya, biar waktu yang membuatnya menerima suamiku sebagai ayahnya...


kadang bahkan aku berharap,
MIMPI selalu memilih aku, lebih daripada ayahnya,, (yang selama ini selalu tidak punya waktu untuknya)
semoga aku bukan istri yang egois...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar